Home > Gaya Hidup

Menurut Penelitian: Indeks Massa Tubuh Masih Jadi Indikator Obesitas yang Dapat Diandalkan

BMI adalah perhitungan sederhana yang didasarkan pada tinggi dan berat badan seseorang.
Indeks Massa Tubuh masih jadi indikator obesitas.
Indeks Massa Tubuh masih jadi indikator obesitas.

Sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh para peneliti Universitas Johns Hopkins menemukan bahwa hampir semua orang dewasa di AS yang tergolong obesitas berdasarkan indeks massa tubuh (BMI) mereka juga memiliki terlalu banyak lemak tubuh.

Hal ini mendukung penggunaan BMI secara berkelanjutan dalam mendiagnosis obesitas, meskipun ada kekhawatiran yang berkembang bahwa BMI mungkin tidak selalu akurat.

BMI adalah perhitungan sederhana yang didasarkan pada tinggi dan berat badan seseorang.

BMI telah lama digunakan oleh para dokter dan organisasi kesehatan untuk mengidentifikasi orang-orang yang mungkin berisiko mengalami masalah kesehatan terkait obesitas.

Namun, BMI telah dikritik dalam beberapa tahun terakhir karena tidak menunjukkan perbedaan antara lemak, otot, dan tulang.

Misalnya, seorang atlet berotot mungkin memiliki BMI yang tinggi tetapi lemak tubuhnya sangat sedikit.

Karena kekhawatiran ini, para ahli telah merekomendasikan bahwa diagnosis obesitas juga harus mencakup pengukuran lain, seperti ukuran pinggang atau pengujian lemak tubuh secara langsung.

Untuk mengetahui seberapa baik BMI sesuai dengan kadar lemak tubuh yang sebenarnya, para peneliti mengamati data dari 2.225 orang dewasa berusia antara 20 dan 59 tahun yang mengikuti survei kesehatan nasional (NHANES) pada tahun 2017–2018.

Tinggi, berat, dan lingkar pinggang para peserta diukur. Mereka juga menjalani pemindaian DEXA, jenis pemindaian tubuh yang memberikan hasil persentase lemak tubuh yang sangat akurat.

Tim tersebut mendefinisikan obesitas pada sebagian besar orang dewasa sebagai BMI 30 atau lebih tinggi.

Untuk peserta Asia non-Hispanik, mereka menggunakan batas yang sedikit lebih rendah yaitu 27,5, berdasarkan risiko kesehatan yang diketahui pada kelompok tersebut.

Untuk memastikan apakah seseorang benar-benar memiliki lemak berlebih, para peneliti juga mengamati setidaknya satu dari berikut ini: ukuran pinggang yang tinggi, persentase lemak tubuh yang tinggi, atau BMI yang sangat tinggi (40 atau lebih).

Hasilnya jelas. Berdasarkan BMI saja, 39,7% peserta diklasifikasikan mengalami obesitas.

Ketika peneliti menambahkan persyaratan konfirmasi kelebihan lemak, persentasenya hanya turun sedikit menjadi 39,1%.

Ini berarti bahwa 98,4% orang dengan obesitas berdasarkan BMI juga memiliki terlalu banyak lemak tubuh, yang mengonfirmasi keakuratan diagnosis berbasis BMI untuk hampir semua orang.

Temuan ini konsisten di berbagai kelompok usia, jenis kelamin, dan latar belakang ras atau etnis.

Bahkan ketika berbagai cara untuk mengonfirmasi kelebihan lemak digunakan, hasilnya serupa.

Ini menunjukkan bahwa bagi kebanyakan orang, BMI adalah alat yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi obesitas.

Penulis penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada kasus khusus—seperti individu yang sangat atletis—di mana BMI mungkin bukan alat terbaik, kasus ini jarang terjadi.

Bagi masyarakat umum, mengonfirmasi obesitas dengan tes tambahan seperti pemindaian DEXA biasanya tidak diperlukan dan dapat membuat skrining obesitas lebih rumit dan mahal daripada yang seharusnya.

Singkatnya, penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki keterbatasan, BMI tetap menjadi cara yang berguna dan akurat untuk mengidentifikasi orang dengan terlalu banyak lemak tubuh.

Bagi kebanyakan orang dewasa, dokter dapat terus mengandalkan BMI tanpa memerlukan tes tambahan yang mahal atau rumit.

Hasil penelitian dapat ditemukan di JAMA.

× Image