Home > Didaktika

Rasa Kantuk di Siang Hari Terkait dengan Pola Makan dan Hormon

Tujuh molekul spesifik dalam darah, yang dikenal sebagai metabolit, sangat terkait dengan rasa kantuk di siang hari.
Shutterstock
Shutterstock

Banyak orang berjuang melawan rasa lelah yang luar biasa di siang hari, suatu kondisi yang dikenal sebagai rasa kantuk berlebihan di siang hari, excessive daytime sleepiness (EDS).

Sekitar satu dari tiga orang Amerika melaporkan mengalaminya, dan ini lebih dari sekadar ketidaknyamanan—kondisi ini telah dikaitkan dengan risiko penyakit jantung, obesitas, dan diabetes yang lebih tinggi.

Kini, penelitian baru menunjukkan bahwa molekul dalam darah dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa orang lebih rentan terhadap EDS daripada yang lain, dengan pola makan dan hormon berperan.

Studi yang dipimpin oleh para peneliti dari Mass General Brigham dan Beth Israel Deaconess Medical Center, mengidentifikasi tujuh molekul spesifik dalam darah, yang dikenal sebagai metabolit, yang sangat terkait dengan rasa kantuk di siang hari.

Temuan yang dipublikasikan di eBioMedicine menunjukkan bahwa risiko EDS dipengaruhi oleh kombinasi proses biologis internal, seperti aktivitas hormon, dan faktor gaya hidup eksternal, seperti pola makan.

"Studi kami menunjukkan bahwa pola makan dan genetika mungkin berperan penting dalam EDS," kata penulis utama Tariq Faquih, Ph.D., seorang peneliti pascadoktoral di Rumah Sakit Brigham and Women's.

"Seiring kita mempelajari apa yang terjadi secara biologis, kita mulai memahami bagaimana dan mengapa EDS terjadi, tanda-tanda awal seseorang mungkin mengalaminya, dan apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pasien."

Para peneliti menganalisis sampel darah dari lebih dari 6.000 partisipan dalam Hispanic Community Health Study/Study of Latinos.

Mereka mengamati 877 metabolit berbeda—molekul kecil yang dibentuk oleh pola makan dan kadar hormon—dan membandingkannya dengan tingkat kantuk di siang hari yang dilaporkan sendiri.

Untuk memperkuat hasil mereka, tim mereplikasi temuan mereka dalam studi tambahan, termasuk Studi Multi-Etnis Aterosklerosis serta kohort besar di Inggris dan Finlandia.

Beberapa pola penting muncul. Asam lemak omega-3 dan omega-6, yang sering ditemukan dalam pola makan bergaya Mediterania yang kaya akan ikan, kacang-kacangan, dan biji-bijian, dikaitkan dengan risiko EDS yang lebih rendah.

Sebaliknya, tiramin—senyawa yang terdapat dalam makanan fermentasi dan makanan yang terlalu matang—dikaitkan dengan risiko kantuk yang lebih tinggi, terutama pada pria.

Para peneliti juga menemukan bahwa metabolit yang berkaitan dengan hormon seks, seperti progesteron, dapat memengaruhi tidur melalui interaksinya dengan melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur-bangun.

Studi ini menyoroti potensi pendekatan baru untuk mengelola kantuk di siang hari.

Penyesuaian pola makan, suplemen, atau pengobatan yang menargetkan metabolit ini suatu hari nanti dapat membantu mengurangi EDS.

Para penulis mengingatkan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan: kadar metabolit dapat sulit diinterpretasikan, dan kuesioner mungkin tidak seakurat tes tidur klinis.

Namun, penelitian ini menunjukkan arah yang menjanjikan. "Melakukan uji klinis akan menjadi langkah besar selanjutnya," kata Faquih.

"Ini dapat membantu kita memahami apakah omega-3 dan omega-6 dari makanan benar-benar dapat menurunkan risiko kantuk di siang hari."

× Image